Wednesday, April 22, 2009

Bangsa Yahudi


Yahudi adalah golongan bangsa yang mana dikalangan mereka pernah banyak muncul para nabi dan rasul Allah swt. Kata ‘Yahudi’ menurut bahasa berarti orang yang berasal dari turunan Yahuda. Yahuda ini adalah salah satu dari 12 putera Nabi Yaqub, nabi yang hidup sekitar abad 18 SM dan bergelar Israil. Segenap turunan dari 12 putera Nabi Yaqub (Israil) itu dikenal dengan sebutan bani Israil, suku Israil atau bangsa Yahudi. Rupanya, setelah berabad-abad turunan Yahudi berkembang menjadi bagian yang dominan dan mayoritas dari bani Israil, sehingga sebutan Yahudi tidak hanya mengacu kepada orang-orang dari turunan Yahuda, tapi mengacu kepada segenap turunan Israil (Nabi Yaqub).

Pada awalnya bangsa Yahudi hanya terdiri dari satu kelompok keluarga diantara banyak kelompok keluarga yang hidup di tanah Kan’an pada abad 18 SM. Ketika terjadi bencana kelaparan di Kan’an, mereka pergi mencari makan ke Mesir, yang memiliki persediaan makanan yang cukup berkat peran serta Nabi Yusuf. Karena kedudukan Nabi Yusuf yang tinggi di kerajaan Mesir, segenap anggota keluarga Yaqub diterima dengan baik di Mesir dan bahkan diberi lahan pertanian di bagian timur laut Mesir.

Saudara-saudara Nabi Yusuf akhirnya terdorong untuk hidup di Mesir dan tinggal bersama Nabi Yusuf karena Mesir dianggap memiliki banyak keistimewaan, tanahnya datar dan iklimnya normal. Dalam kurun waktu beberapa abad mereka pun menetap dan menikah di Mesir hingga jumlah anak turun mereka membengkak menjadi berpuluh-puluh ribu orang. Waktu itu Nabi Yusuf yang masuk dalam jajaran penguasa Mesir telah berhasil mengubah Mesir menjadi negeri yang menganut agama tauhid. Namun sayang, sepeninggal Nabi Yusuf, Mesir kembali menganut faham politheisme (penyembah berhala). Menurut prediksi yang kuat, hal ini terjadi karena ‘permainan’ orang-orang pemerintahan. Sebab, dengan menganut ajaran tauhid, ’kasta’ orang-orang pemerintahan hampir tidak dibedakan dengan masyarakat luas. Oleh karena itu, mereka berkepentingan untuk mengembalikan sistem mempertuhankan banyak sesuatu; mengembalikan sistem ketuhanan Fir’aun.

Pada dasarnya, masyarakat Mesir adalah masyarakat yang berbudaya. Mereka memiliki atensi cukup besar pada pembangunan budaya dan peradaban; memiliki naluri keagamaan yang mendalam. Barangkali sebagian besar masyarakat Mesir mengakui bahwa Fir’aun bukanlah tuhan, tetapi keimanan yang bersemayam dalam jiwa mereka semacam itu tidak berarti apa-apa bagi seorang penguasa. Tuhan-tuhan berhala di Mesir cukup banyak dan Fir’aun-lah yang menguasai semua tuhan-tuhan itu. Inilah persepsi masyarakat Mesir kala itu.

Ironisnya, bani Israil juga mulai ikut-ikutan berpindah akidah dari monotheisme (tauhid) menjadi politheisme, mengikuti tradisi setempat. Hanya sebagian kecil saja diantara mereka yang masih menyimpan keimanan dan tetap menganut agama monotheisme.

Sementara itu, di saat yang bersamaan, jumlah penduduk bani Israil yang semakin banyak dan semakin tangguh dalam bidang perekonomian membuat pemimpin bangsa Mesir mulai menekan mereka. Bangsa ini sengaja diperbudak tanpa kenal belas kasih. Secara turun-temurun para Fir’aun ini memperbudak bani Israil hingga pada satu masa naik tahtahlah seorang Fir’aun yang sangat diktator. Maka Allah swt. mengutus Nabi Musa kepada kaum yang zalim ini. Misi utamanya adalah mengingatkan Fir’aun akan kezalimannya dan mengajaknya kembali kepada ajaran tauhid yang pernah diajarkan Nabi Yusuf kepada leluhur Fir’aun di masa lalu. Akan tetapi Fir’aun terlalu angkuh untuk tunduk kepada risalah yang dibawa Nabi Musa kepadanya. Peringatan Nabi Musa hanya menambah kediktatoran Fir’aun kian menjadi-jadi.

Sebenarnya pada satu titik pernah terjadi Fir’aun ditunjukkan pada mukjizat-mukjizat Nabi Musa dan dia pun merasa takut. Diam-diam dia sebetulnya mengakui keberadaan Allah swt, hanya sayangnya kesombongan dan ketakutannya akan kehilangan tahta kekuasaan tertinggi telah membutakan mata hatinya. Dan karena hal itu pulalah maka Fir’aun ditenggelamkan oleh lautan.

Babak Baru Kehidupan Kaum Yahudi Kuno
Setelah pembebasan kaum Yahudi dari perbudakan bangsa Mesir, ternyata pola pikir bangsa Israil ini tidak banyak mengalami perubahan tauhid. Agaknya usaha para Fir’aun dan penguasa pemerintahan negeri Mesir untuk menanamkan dasar-dasar faham politheisme ke benak bani Israil benar-benar sudah merasuk hingga ke tulang sum-sum hingga sangat sulit dihilangkan. Sifat membangkang dan kejahilian bangsa Mesir juga telah melekat erat dalam diri orang-orang bani Israil, membuat Nabi Musa benar-benar kesulitan mengatasi mereka.

Belum lagi Nabi Musa meninggalkan mereka, kaum Yahudi sudah meminta dibuatkan tuhan yang dapat mereka sembah. Tiap kali bertemu dengan orang-orang yang menyembah berhala, mereka merasa iri karena ingin melakukan hal yang sama. Namun, Nabi Musa menolaknya dengan tegas, sebagaimana tertera dalam ayat-ayat Al Qur’an berikut:

”Dan Kami seberangkan Bani Israil ke seberang lautan itu, maka setelah mereka sampai kepada suatu kaum yang tetap menyembah berhala mereka, Bani Israil berkata: ’Hai Musa, buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala).’ Musa menjawab: ’Sesungguhnya kamu ini adalah kaum yang tidak mengetahui (sifat-sifat Tuhan).’ Sesungguhnya mereka itu akan dihancurkan kepercayaan yang dianutnya dan akan batal apa yang selalu mereka kerjakan. Musa menjawa, ’Patutkah aku mencari Tuhan untuk kamu yang selain dari pada Allah, padahal Dialah yang telah melebihkan kamu atas segala umat. Dan (ingatlah hai Bani Israil), ketika Kami menyelamatkan kamu dari (Fir’aun) dan kaumnya, yang mengazab kamu dengan azab yang sangat jahat, yaitu mereka membunuh anak-anak lelakimu dan membiarkan hidup wanita-wanitamu. Dan pada yang demikian itu cobaan yang besar dari Tuhanmu’” (QS. Al A’raaf: 138-141)

Tidak hanya itu saja, perbudakan yang sangat lama juga telah membuat bangsa Yahudi berpikir sama buruknya seperti bangsa yang memperbudaknya. Mereka menganggap kebebasan yang diberikan oleh Allah swt adalah berkah yang tiada akhir. Mereka sekarang sudah terbebas dari segala macam bentuk penindasan, penganiayaan dan rasa takut yang mencekam, jadi adalah hak mereka untuk tidak merasa takut dan kekurangan lagi. Tuhan telah memilih mereka sebagai bangsa pilihan untuk didekatkan kepada-Nya. Corak kesombongan, tinggi hati, dan tidak pernah merasa puas, yang dulu pernah menyelimuti masyarakat Mesir kelas atas kini mereka adopsi juga.

Satu saat, hijrah mereka telah mencapai gurun Sinai yang tandus. Tak ada makanan dan minuman di sana. Namun demikian rahmat Allah swt yang besar masih menaungi mereka. Allah swt menurunkan ’manna’ dan ’salwa’, serta mengijinkan Nabi Musa memukulkan tongkatnya ke bumi sehingga dari dalamnya menyembur 12 mata air bagi masing-masing kabilah. Sayangnya, nikmat yang telah diberikan Allah swt tidak cukup membuat Bani Israil berhenti menginginkan hal yang lebih banyak. Mereka menginginkan bawang merah, bawang putih, kacang dan miju-miju. Makanan yang merupakan jenis makanan khas Mesir dan biasa mereka konsumsi selama ini. Kembali Nabi Musa mengingatkan kaumnya pada kezaliman diri mereka itu. Bagaimana bisa mereka tidak bersyukur telah mendapatkan makanan yang baik, malah menginginkan makanan lain yang lebih buruk?

Mereka meneruskan perjalanan menuju Bait Al Maqdis. Disitulah kemudian Nabi Musa memerintahkan mereka supaya masuk ke sana dan memerangi orang-orang yang menyembah berhala. Namun lagi-lagi kaum Yahudi mengelak. Kepada Nabi Musa mereka menyatakan ketakutannya. Nyali mereka yang ciut mendorong mereka untuk berkata tidak akan pernah masuk ke Bait Al Maqdis kecuali golongan yang kuat yang ada di dalamnya keluar lebih dulu. Sebuah pernyataan yang populer dilontarkan kaum Yahudi kepada Nabi Musa direkam oleh Al Qur’an:
”Pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua. Sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja.” (QS. Al Maidaah: 24)

Seketika Nabi Musa pun sadar bahwa tidak ada perkembangan baik pada kaumnya. Padahal Fir’aun sudah binasa, namun pengaruhnya begitu kuat tertanam dalam jiwa mereka. Butuh waktu lama untuk menyembuhkannya. Akhirnya Nabi Musa mengadu kepada Allah swt. Beliau berdoa supaya dipisahkan dari kaumnya.

Allah swt pun menurunkan hukuman terhadap generasi Bani Israil yang mengalami kerusakan nurani. Mereka disesatkan selama 40 tahun, sampai generasi itu menjadi tua. Setelah itu muncul generasi lain sebagai pengganti. Generasi yang tangguh, bukan penakut dan siap membela kebenaran di sisi Allah swt.

Saat Taurat diturunkan, Nabi Musa sempat menyingkir selama sekian waktu. Bersamaan dengan itu ditengah-tengah kaum Yahudi terjadi pengkhianatan oleh Samiri. Pengkhianatan ini berasal dari perilaku Bani Israil juga. Ketika Nabi Musa memerintahkan Bani Israil untuk bersiap-siap pergi diam-diam meninggalkan tanah Mesir, para wanita Bani Israil mencoba berbaikan dengan wanita Mesir dan membujuknya agar mau meminjamkan perhiasan emasnya. Hal yang sama juga dilakukan oleh para pria bangsa Yahudi. Walhasil orang-orang Bani Israil, baik pria maupun wanita, berhasil mendapatkan emas yang sangat banyak. Awalnya Nabi Musa dan Nabi Harun sama sekali tidak mengetahui masalah ini. Karena itu, ketika akhirnya rahasia ini terbongkar oleh Nabi Harun, beliau berinisiatif mengambil barang-barang curian itu, mengumpulkannya di suatu tempat dan menimbunnya di dalam tanah.

Akan tetapi Samiri kembali mengambilnya. Dia tahu betul kelemahan Bani Israil adalah pada benda-benda emas, jadi dia ingin sekali memanfaatkan kesempatan itu. Dari emas-emas itu Samiri membuat patung sapi yang menyerupai patung dewa Apis. Apis sendiri adalah sesembahan masyarakat Mesir. Samiri ingin menghidupkan kembali memori Bani Israil akan sembahan masyarakat Mesir ini.

Setelah patung selesai dibuat, Samiri pergi menemui bani Israil membawa patung tersebut:

Mereka bertanya, ”Apa ini wahai Samiri?”

Samiri menjawab, ”Inilah tuhan kalian dan tuhan Musa.”

Mereka berkata, ”Tetapi Musa sedang pergi ke miqat Tuhannya.”

Samiri menjawab, ”Musa lupa. Ia pergi menjumpai Tuhannya di sana, padahal tuhannya ada di sini.”

Tiba-tiba angin berhembus, kemudian masuk lubang anus patung Apis dan keluar melalui lubang mulutnya. Seketika timbullah suara dari mulut Apis. Tanpa menunggu waktu lama, Bani Israil langsung menyembah patung tersebut.
Suatu hari Nabi Harun terheran-heran menyaksikan Bani Israil menyembah berhala yang terbuat dari emas. Nabi Harun pun mencoba menasehati mereka. Ia katakan pada mereka,

”Sungguh kalian telah tertipu. Ini pengkhianatan. Samiri telah memanfaatkan kebodohan kalian. Ia telah mengkhianati kalian dengan patung anak sapi buatannya...Ketahuilan, ini bukan Tuhan kalian. Juga bukan Tuhan Musa.” (QS. Thaha: 90)

Kelompok mereka akhirnya terbelah menjadi dua: sekelompok kecil adalah orang-orang mukmin yang meyakini bahwa semua ini hanyalah omong kosong belaka; dan kelompok yang mayoritas terdiri dari orang-orang kafir yang membiarkan diri mereka menyembah berhala. Celakanya, kaum mayoritas ini selalu menganggap nasehat-nasehat Nabi Harun bagaikan hembusan angin sepoi-sepoi menimpa batu. Mereka tidak mengindahkan kata-kata dan seruannya. Bahkan mereka hampir saja membunuhnya kalau saja tidak diambil kata sepakat menangguhkan masalah ini sampai Nabi Musa datang.

Ketika Nabi Musa mengetahui apa yang dilakukan oleh Bani Israil maka murkalah beliau, ”Alangkah buruknya perbuatan yang kamu kerjakan sesudah kepergianku!” (QS. Al A’raaf: 150)

Nabi Musa yang memiliki karakter tergesa-gesa dan antusiasme tinggi mendatangi Nabi Harun dengan marah dan berselisih paham dengannya. Namun akhirnya kemarahan Nabi Musa terhadap Nabi Harun mereda setelah mendapatkan penjelasan yang sebenarnya. Setelah itu Nabi Musa berpaling kepada kaumnya dan berkata:

”Kemudian Musa kembali kepada kaumnya dengan marah dan bersedih hati. Berkata Musa: ’Hai kaumku, bukankah Tuhanmu telah menjadikan kepadamu suatu janji yang baik? Maka apakah terasa lama masa yang berlalu itu bagimu atau kamu menghendaki agar kemurkaan dari Tuhanmu menimpamu, lalu kamu melanggar perjanjianmu dengan aku?’” (QS. Thaha: 86)

Seketika segenap Bani israil menundukkan kepala. Mereka semua menyadari kesalahan yang dilakukan. Oleh Nabi Musa Samiri dijatuhi hukuman berupa pengasingan, sedangkan patung Apis dimusnahkan. Pada kaumnya Nabi Musa berseru:

”Sesungguhnya Tuhanmu hanyalah Allah, yang tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Pengetahuan-Nya meliputi segala sesuatu.” (QS. Thaha: 98)

Kepada kaumnya Nabi Musa mengatakan bahwa hanya ada satu celah taubat bagi mereka. Dan taubat itu adalah dengan membunuh orang-orang yang mempertuhankan patung Apis di antara mereka. Al Qur’an menggambarkan peristiwa tersebut sebagai berikut:

”Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya: ’Hai kaumku, sesungguhnya kamu telah menganiaya dirimu sendiri karena kamu telah menjadikan anak sapi (sembahanmu), maka bertaubatlah kepada Tuhan yang menjadikan kamu dan bunuhlah dirimu. Hal itu adalah lebih baik bagimu pada sisi Tuhan yang menjadikan kamu; maka Allah akan menerima taubatnya. Sesungguhnya Dialah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Baqarah: 54)

Sanksi yang diterapkan Nabi Musa bagi para penyembah Apis sungguh berat, sesuai dengan kadar dosa dan kesalahan itu sendiri. Patokan dasarnya adalah paganisme telah membunuh kehidupan dan kebersihan akal. Maka pembunuhan terhadap kehidupan dan kebersihan akal hanya dapat diimbangi dengan sanksi pembunuhan terhadap kehidupan jasad itu sendiri. Tragedi berdarah yang menyedihkan ini menelan banyak korban jiwa. Sebagian sejarawan memperkirakan sekitar 70 ribu orang Bani Israil tewas dalam peristiwa tersebut.
Diriwayatkan bahwa Nabi Musa dan Nabi Harun berdiri memanjatkan doa kepada Allah swt sehingga Jibril datang memebritahu Nabi Musa bahwa Allah swt menerima taubat orang-orang yang tersisa dari Bani Israil.

Bernegoisasi Dengan Hukum Taurat
Nabi Musa kembali teringat dengan misi utamanya, yakni mengajarkan hukum Taurat kepada kaumnya. Kepedihan atas apa yang diperbuat Bani israil mungkin masih membekas di benak beliau, namun demikian hidup harus terus berlanjut. Nabi Musa pun mulai membacakan isi luh-luh Taurat kepada kaumnya. Awalnya yang diperintahkan adalah mereka harus menjalankan ketentuan hukum yang ada di dalam Taurat. Tetapi sungguh diluar dugaan, ternyata Bani Israil masih ingin melakukan negoisasi dengan kebenaran. Mereka berkata kepada Nabi Musa,
”Bagikan luh-luh itu pada kami. Jika perintah dan larangannya kami nilai mudah dan gampang, maka kami akan menerimanya.”

Nabi Musa menjawab, ”Justru kalian harus menerima semua yang terkandung di dalamnya.”

Tetapi mereka masih terus minta negoisasi. Maka Allah swt mengirimkan para malaikat untuk mengangkat gunung dan meletakkan di atas kepala mereka. Setelah itu dikatakan kepada mereka:

”Jika kalian tidak menerima luh-luh itu berikut kandungannya, niscaya gunung ini akan jatuh menimpa kalian.”

Baru kemudian Bani Israil mau menerima dan bersujud dengan cemas serta rasa takut.

”Dan (ingatlah), ketika Kami mengangkat bukit ke atas mereka seakan-akan bukit itu naungan awan dan mereka yakin bahwa bukit itu akan jatuh menimpa mereka. (Dan Kami katakan kepada mereka): ’Peganglah dengan teguh apa yang yang telah Kami berikan kepadamu, serta ingatlah selalu (amalkanlah) apa yang tersebut di dalamnya supaya kamu menjadi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al Araaf: 170)

Selalu saja seperti itu, mereka tidak bisa serta merta menyerahkan diri kepada Allah swt kecuali setelah menyaksikan mukjizat-mukjizat inderawi, yang dapat menimbulkan rasa takut dan cemas, yang akhirnya akan mendorong mereka untuk tunduk bersujud. Jika dikatakan Allah swt berlaku sangat keras kepada Bani Israil hal itu memang benar dan wajar. Bukan tanpa alasan, untuk mengembalikan Bani Israil ke jalan yang lurus memang tidak ada cara lain selain dengan sikap tegas dan keras.

Nabi Musa memerintahkan kepada pemuka dan tokoh Bani Israil supaya memohon ampunan dan bertaubat kepada Allah swt. 70 orang terbaik di antara mereka dipilih. Kepada mereka dikatakan:

”Pergilah menuju Allah! Bertaubatlah kepada-Nya atas apa yang telah kalian perbuat. Dan jangan lupa, mintakanlah juga ampunan untuk kaum yang kalian tinggalkan di belakang. Berpuasalah. Bersucilah. Dan sucikanlah pakaian kalian.”

Bersama 70 orang itu, Nabi Musa berangkat menuju miqat Tuhannya. Di bukit itu 70 orang itu telah menjadi saksi Nabi Musa berbicara dengan Allah swt secara langsung. Barangkali mukjizat ini adalah yang terakhir, yang dirasa sudah cukup bisa membawa keimanan di hati di sepanjang kehidupan. Akan tetapi sekali lagi apa yang dikatakan ke-70 orang tadi benar-benar mencengangkan. Dengan polos mereka katakan kepada Nabi Musa:

”Dan (ingatlah), ketika kamu berkata: ’Hai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang’, karena itu kamu disambar halilintar, sedang mereka menyaksikannya.” (QS. Al Baqarah: 55)

Sungguh yang demikian itu merupakan pertanda bencana yang membuat orang terpana. Bencana yang mengindikasikan membatunya hati orang-orang Bani Israil. Pun ketergantungannya pada hal-hal yang bersifat materi dan inderawi. Permintaan itu akhirnya berbuah azab berupa halilintar dan gempa bumi.

Nabi Musa melihat apa yang terjadi pada ke 70 orang itu dan merasa sangat sedih karenanya. Maka beliau pun berdoa kepada Allah swt dan memohonkan ampun bagi mereka:

”Dan Musa memilih tujuh puluh orang dari kaumnya untuk (memohonkan taubat kepada Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan. Maka ketika mereka digoncang gempa bumi, Musa berkata: ’Ya Tuhanku, kalau Engkau kehendaki, tentulah Engkau membinasakan mereka dan aku sebelum ini. Apakah Engkau membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang kurang akal di antara kami? Itu hanyalah cobaan dari Engkau, Engkau sesatkan dengan cobaan itu siapa yang Engkau kehendaki dan Engkau beri petunjuk kepada siapa yang Engkau kehendaki. Engkaulah Yang memimpin kami, maka ampunilah kami dan berilah rahmat dan Engkaulah Pemberi ampun yang sebaik-baiknya’.” (QS. Al A’raaf: 155)

Nabi Musa memohon keridhaan-Nya dan Allah swt meridhainya. Dia ampuni kaum Nabi Musa dan menghidupkan mereka kembali.

Qishshah Al Baqarah (Cerita Tentang Sapi)
Nabi Musa tinggal bersama kaumnya, berdakwah kepada mereka sepanjang waktu. Sayang jiwa-jiwa mereka benar-benar sudah menelikung. Sifat mereka yang keras kepala dan suka membangkang terjadi lagi kala muncul kisah Bani Israil yang kaya raya ditemukan tewas secara misterius. Masyarakat menjadi gempar karenanya. Mereka meminta kepada Nabi Musa untuk bermunajat kepada Tuhannya sehingga mereka bisa menemukan siapa pembunuhnya. Nabi Musa pun memenuhi permintaan mereka. Mereka diperintah untuk menyembelih seekor sapi.

Semestinya mereka cukup menyembelih sapi apa saja yang mereka temui, tapi dasar keras kepala mereka masih mengajak bernegoisasi. Mereka menuduh Nabi Musa hanya main-main dan mencemooh mereka. Dengan ketabahan yang sangat Nabi Musa memohon perlindungan kepada Allah swt dari kaum yang tak berpengetahuan dan menuduhkan tuduhan buruk terhadapnya ini. Lantas beliau jelaskan kepada mereka bahwa pemecahan masalah pembunuhan akan terungkap dari penyembelihan sapi itu. Di sini Nabi Musa ingin menunjukkan kembali mukjizat dari Tuhannya sekaligus menjadikan ini sebagai indikasi bahwa hingga kini Bani Israil belum mampu berpikir secara logis. Mereka terlalu dalam terperosok ke dunia mistis sehingga untuk mengeluarkannya dari pola pikir yang seperti itu Nabi Musa mengalami kesulitan yang luar biasa.

Bani Israil berkata, “Apakah sapi yang engkau maksud itu sapi pada umumnya atau yang memiliki ciri-ciri tertentu?”

Nabi Musa pun bertanya pada Allah swt. Dan sapi yang dimaksud dibatasi dengan ciri-ciri tertentu, berbeda dengan kriteria sebelumnya. Sapi itu adalah sapi yang tidak tua, juga tidak terlalu muda. Sampai di sini harusnya persoalan telah selesai. Tetapi lagi-lagi Bani Israil masih ingin bernegoisasi. Pertanyaan-pertanyaan aneh mereka lontarkan, seperti: ‘Apa warna sapi itu? Bagaimana kalau Musa bertanya saja kepada Tuhannya?’ Sungguh mereka tidak sopan terhadap Allah swt dan Nabi-Nya. Bagaimana mereka tidak malu membebani Nabi Musa untuk berkonsultasi berulangkali pada Allah swt hanya untuk menanyakan hal-hal yang sederhana? Akhirnya Allah swt menjelaskan tentang sapi itu, ”Sapi yang berwarna kuning, yang kuning tua warnanya, lagi menyenangkan orang-orang yang memandangnya.”

Untuk kesekian kalinya Bani Israil masih belum jengah untuk berhenti bertanya. Mereka kembali meminta kejelasan kepada Nabi Musa sapi macam apa itu karena banyak sapi yang mirip. Dengan praktis Nabi Musa pun menjawab, ”Sapi yang dimaksud adalah sapi yang tidak dipakai untuk membajak dan mengairi tanaman, tidak memiliki cacat dan tidak ada belangnya. Benar-benar kuning, murni...”

Kini, sifat keras kepala Bani Israil itu berakibat pada diri mereka sendiri. Mereka benar-benar kesulitan mencari sapi yang dimaksud. Hampir-hampir mereka tidak menjalankan perintah itu saking sulitnya mencari sapi yang dimaksud. Untunglah ada seorang yatim yang memilikinya, jadi mereka membeli darinya dan menyembelih sapi itu.
Nabi Musa mengambil ekor sapi itu dan memukulkannya kepada orang yang sudah mati. Tiba-tiba orang itu hidup kembali. Ia menceritakan segalanya sebelum kemudian mati lagi. Semua Bani Israil menyaksikan peristiwa ini dan mengakui mukjizat ini sebagai kebenaran keberadaan Allah swt hingga waktu tertentu.


Sepertinya jika membicarakan sikap buruk kaum Yahudi terus menerus hal itu tidak akan ada habisnya. Nabi Musa saja sampai begitu menderita karena kaumnya. Sebagain orang meyakini kaum Yahudi telah melukai dan menyakiti Nabi Musa secara psikis dan kejiwaan. Tidak ada yang tahu sedalam apa luka itu bagi Nabi Musa, namun yang jelas kaum Yahudi suka sekali menyeleweng dari risalah-risalah yang dibawakan oleh Nabi Musa, bahkan di saat beliau masih tinggal dan hidup bersama mereka sekalipun.

Terkait dengan ini Rasulullah saw pernah disakiti umatnya dan beliau bersabda, ”Musa telah disakiti lebih dari itu, tetapi ia tetap sabar.”

Agaknya, semua propaganda zionis yang ada sekarang yang menyatakan bahwa kaum Yahudi adalah bangsa pilihan Tuhan, sebenarnya bersandar pada kebiasaan mereka menyalah artikan segala hal yang terjadi di masa lalu. Segala kemukjizatan yang diturunkan Allah swt kepada mereka secara berturut-turut, termasuk diutusnya banyak nabi-nabi dari kalangan mereka, dianggapnya sebagai berkah semata. Mereka sengaja melupakan kenyataan bahwa disamping berkah sejatinya terdapat banyak sekali peringatan dan bahkan azab yang pedih bagi mereka karena sering menyombongkan diri. Dengan beranggapan bahwa kaum Yahudi adalah satu-satunya bangsa yang unggul sedangkan bangsa yang lain hanya cukup dihargai sebagai bangsa Junam (kambing/domba), mestinya kaum Yahudi mampu menjadi segala simbol kebaikan bagi dunia dan bukan sebaliknya. Harusnya jika benar mereka adalah bangsa pilihan Tuhan karena keunggulan rasnya, mereka tidak hanya bisa menjadi bangsa yang pandai berkelit tapi juga bangsa yang tunduk patuh pada risalah-risalah yang dibawa oleh Nabi Musa. Maka semoga Allah swt melimpahkan rahmat-Nya tanpa akhir kepada Nabi Musa dan orang-orang mukmin yang tetap menjaga kemurnian risalah milik-Nya, serta dijauhkan dari pengaruh dusta-dusta kaum Yahudi.

”Lalu ditimpakan kepada mereka kenistaan dan kehinaan, serta mereka mendapat kemurkaan dari Allah. Hal itu (terjadi) karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh nabi-nabi tanpa alasan yang benar. Demikianlah itu (terjadi) karena mereka selalu berbuat durhaka dan melampaui batas.” (QS. Al Baqarah: 61)

@ nelly, Juni 2008
Wassalamualaikum wr.wb.